Reaksi Anafilaktik (4A)
Reaksi Anafilaktik (4A)
Masalah Kesehatan
Anafilaktik adalah reaksi
hipersensitifitas generalisata atau sistemik yang beronset cepat, serius, dan
mengancam. Jika reaksi tersebut cukup hebat dapat menimbulkan syok yang disebut
sebagai syok anafilaktik. Syok anafilaktik membutuhkan pertolongan cepat dan
tepat. Untuk itu diperlukan pengetahuan serta keterampilan dalam pengelolaan
syok anafilaktik.
Insidens
syok anafilaktik 40–60% adalah akibat gigitan serangga, 20–40% akibat zat
kontras radiografi, dan 10–20% akibat pemberian obat penisilin. Data yang
akurat dalam insiden dan prevalensi terjadinya syok anafilaktik masih sangat
kurang. Anafilaksis yang fatal hanya kira-kira 4 kasus kematian dari 10 juta
masyarakat per tahun. Sebagian besar kasus yang serius anafilaktik adalah
akibat pemberian antibiotik seperti penisilin dan bahan zat radiologis.
Penisilin merupakan penyebab kematian 100 dari 500 kematian akibat reaksi
anafilaksis.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Gambaran atau gejala klinik
suatu reaksi anafilakis berbeda-beda gradasinya sesuai berat ringannya reaksi
antigen-antibodi atau tingkat sensitivitas seseorang, namun pada tingkat yang
berat barupa syok anafilaktik gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi
dan gangguan respirasi. Kedua gangguan tersebut dapat timbul bersamaan atau
berurutan yang kronologisnya sangat bervariasi dari beberapa detik sampai
beberapa jam. Pada dasarnya makin cepat reaksi timbul makin berat keadaan
penderita.
Gejala respirasi dapat
dimulai berupa bersin, hidung tersumbat atau batuk saja yang kemudian segera
diikuti dengan sesak napas.
Gejala pada kulit merupakan
gejala klinik yang paling sering ditemukan pada reaksi anafilaktik. Walaupun
gejala ini tidak mematikan namun gejala ini amat penting untuk diperhatikan
sebab ini mungkin merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala yang lebih
berat berupa gangguan nafas dan gangguan sirkulasi. Oleh karena itu setiap
gejala kulit berupa gatal, kulit kemerahan harus diwaspadai untuk kemungkinan
timbulnya gejala yang lebih berat. Manifestasi dari gangguan gastrointestinal
berupa perut kram, mual, muntah sampai diare yang juga dapat merupakan gejala
prodromal untuk timbulnya gejala gangguan nafas dan sirkulasi.
Faktor
Risiko:
Riwayat
Alergi
Hasil Pemeriksaan Fisik dan
Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan
Fisik
Pasien
tampak sesak, frekuensi napas meningkat, sianosis karena edema laring dan
bronkospasme. Hipotensi merupakan gejala yang menonjol pada syok anafilaktik.
Adanya takikardia, edema periorbital, mata berair, hiperemi konjungtiva. Tanda
prodromal pada kulit berupa urtikaria dan eritema.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis
Klinis
Untuk
membantu menegakkan diagnosis maka World
Allergy Organization telah membuat beberapa kriteria di mana reaksi
anafilaktik dinyatakan sangat mungkin bila :
1.
Onset gejala akut (beberapa menit hingga beberapa jam)
yang melibatkan kulit, jaringan mukosa, atau keduanya (misal: urtikaria
generalisata, pruritus dengan kemerahan, pembengkakan bibir/lidah/uvula) dan
sedikitnya salah satu dari tanda berikut ini:
a.
Gangguan respirasi (misal: sesak nafas, wheezing akibat bronkospasme, stridor,
penurunan arus puncak ekspirasi/APE, hipoksemia).
b.
Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan
dengan kegagalan organ target (misal: hipotonia, kolaps vaskular, sinkop, inkontinensia).
2.
Atau, dua atau lebih tanda berikut yang muncul segera
(beberapa menit hingga beberapa jam) setelah terpapar alergen yang mungkin (likely allergen), yaitu:
a.
Keterlibatan jaringan mukosa dan kulit
b.
Gangguan respirasi
c.
Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan
dengan kegagalan organ target
d.
Gejala gastrointestinal yang persisten (misal: nyeri
kram abdomen, muntah)
3.
Atau, penurunan tekanan darah segera (beberapa menit
atau jam) setelah terpapar alergen yang
telah diketahui (known allergen),
sesuai kriteria berikut:
a.
Bayi dan anak: Tekanan darah sistolik rendah (menurut
umur) atau terjadi penurunan > 30% dari tekanan darah sistolik semula.
b.
Dewasa: Tekanan darah sistolik <90 mmHg atau terjadi
penurunan >30% dari tekanan darah sistolik semula.
Diagnosis Banding
1.
Beberapa kelainan menyerupai anafilaksis
a.
Serangan asma akut
b.
Sinkop
c.
Gangguan cemas / serangan panik
d.
Urtikaria akut generalisata
e.
Aspirasi benda asing
f.
Kelainan kardiovaskuler akut (infark miokard, emboli
paru)
g.
Kelainan neurologis akut (kejang, stroke)
2.
Sindrom flush
a.
Perimenopause
b.
Sindrom karsinoid
c.
Epilepsi otonomik
d.
Karsinoma tiroid meduler
3.
Sindrom pasca-prandial
a.
Scombroidosis, yaitu keracunan histamin dari ikan,
misalnya tuna, yang disimpan pada suhu tinggi.
b.
Sindrom alergi makanan berpolen, umumnya buah atau
sayur yang mengandung protein tanaman yang telah bereaksi silang dengan alergen
di udara
c.
Monosodium glutamat atau Chinese restaurant syndrome
d.
Sulfit
e.
Keracunan makanan
4.
Syok jenis lain
a.
Hipovolemik
b.
Kardiogenik
c.
Distributif
d.
Septik
5.
Kelainan non-organik
a.
Disfungsi pita suara
b.
hiperventilasi
c.
Episode psikosomatis
6.
Peningkatan histamin endogen
a.
Mastositosis / kelainan klonal sel mast
b.
Leukemia basofilik
7.
Lainnya
a.
Angioedema non-alergik, misal: angioedema herediter
tipe I, II, atau III, angioedema terkait ACE-inhibitor)
b.
Systemic
capillary leak syndrome
c.
Red man syndrome
akibat vancomycin
d.
Respon paradoksikal pada feokromositoma
Komplikasi
1.
Koma
2.
Kematian
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1.
Posisi trendelenburg
atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat (diganjal dengan kursi) akan
membantu menaikkan venous return sehingga
tekanan darah ikut meningkat.
2.
Pemberian Oksigen 3–5 liter/menit harus dilakukan, pada
keadaan yang sangat ekstrim tindakan trakeostomi atau krikotiroidektomi perlu
dipertimbangkan.
3.
Pemasangan infus, cairan plasma expander (Dextran)
merupakan pilihan utama guna dapat mengisi volume intravaskuler secepatnya. Jika
cairan tersebut tak tersedia, Ringer Laktat atau NaCl fisiologis dapat dipakai
sebagai cairan pengganti. Pemberian cairan infus sebaiknya dipertahankan sampai
tekanan darah kembali optimal dan stabil.
4.
Adrenalin 0,3 – 0,5 ml dari larutan 1 : 1000 diberikan
secara intramuskuler yang dapat diulangi 5–10 menit. Dosis ulangan umumnya
diperlukan, mengingat lama kerja adrenalin cukup singkat. Jika respon pemberian
secara intramuskuler kurang efektif, dapat diberi secara intravenous setelah
0,1 – 0,2 ml adrenalin dilarutkan dalam spuit 10 ml dengan NaCl fisiologis,
diberikan perlahan-lahan. Pemberian subkutan, sebaiknya dihindari pada syok
anafilaktik karena efeknya lambat bahkan mungkin tidak ada akibat
vasokonstriksi pada kulit, sehingga absorbsi obat tidak terjadi.
5.
Aminofilin, dapat diberikan dengan sangat hati-hati
apabila bronkospasme belum hilang dengan pemberian adrenalin. 250 mg aminofilin
diberikan perlahan-lahan selama 10 menit intravena. Dapat dilanjutkan 250 mg
lagi melalui drips infus bila dianggap perlu.
6.
Antihistamin dan kortikosteroid merupakan pilihan kedua
setelah adrenalin. Kedua obat tersebut kurang manfaatnya pada tingkat syok
anafilaktik, dapat diberikan setelah gejala klinik mulai membaik guna mencegah
komplikasi selanjutnya berupa serum sickness
atau prolonged effect. Antihistamin
yang biasa digunakan adalah difenhidramin HCl 5–20 mg IV dan untuk golongan
kortikosteroid dapat digunakan deksametason 5–10 mg IV atau hidrokortison
100–250 mg IV.
7.
Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP), seandainya terjadi
henti jantung (cardiac arrest) maka
prosedur resusitasi kardiopulmoner segera harus dilakukan sesuai dengan
falsafah ABC dan seterusnya. Mengingat kemungkinan terjadinya henti jantung
pada suatu syok anafilaktik selalu ada, maka sewajarnya di setiap ruang praktek
seorang dokter tersedia selain obat-obat emergency,
perangkat infus dan cairannya juga perangkat resusitasi (Resuscitation kit) untuk memudahkan tindakan secepatnya.
8.
Algoritma Penatalaksanaan Reaksi Anafilaksis (Lihat
Lampiran 1) Rencana Tindak Lanjut
Mencari penyebab reaksi
anafilaktik dan mencatatnya di rekam medis serta memberitahukan kepada pasien
dan keluarga.
Konseling
dan Edukasi
Keluarga perlu diberitahukan
mengenai penyuntikan apapun bentuknya terutama obat-obat yang telah dilaporkan
bersifat antigen (serum, penisillin, anestesi lokal, dll) harus selalu waspada
untuk timbulnya reaksi anafilaktik. Penderita yang tergolong risiko tinggi (ada
riwayat asma, rinitis, eksim, atau penyakit-penyakit alergi lainnya) harus
lebih diwaspadai lagi. Jangan mencoba menyuntikkan obat yang sama bila
sebelumnya pernah ada riwayat alergi betapapun kecilnya. Sebaiknya mengganti
dengan preparat lain yang lebih aman.
Kriteria
Rujukan
Kegawatan
pasien ditangani, apabila dengan penanganan yang dilakukan tidak terdapat
perbaikan, pasien dirujuk ke layanan sekunder.
Peralatan
1.
Infus set
2.
Oksigen
3.
Adrenalin ampul, aminofilin ampul, difenhidramin vial,
deksametason ampul
4.
NaCl 0,9%
Prognosis
Prognosis
suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan diagnosa dan
pengelolaannya karena itu umumnya adalah dubia
ad bonam.
Referensi
1.
Haupt,M.T. Fujii, T.K. et al. Anaphylactic Reactions. In:Text
Book of Critical care. Eds: Ake Grenvvik.Stephen, M.Ayres.Peter, R.William,
C. Shoemaker. 4th Ed.Philadelpia:
WB Saunders Company. 2000: p. 246-56.
2.
Koury, S.I. Herfel, L.U. Anaphylaxis and acute allergic reactions. In: International edition
Emergency Medicine.Eds:Tintinalli. Kellen. Stapczynski. 5thEd.
New York: McGrraw-Hill. 2000: p. 242-6.
3.
Rehatta, M.N.Syok
anafilaktik patofisiologi dan penanganan dalam Update on Shock.Pertemuan Ilmiah Terpadu.Fakultas
Kedoketran Universitas Airlangga Surabaya. 2000.
Comments
Post a Comment